Kamis, 08 Desember 2011

Inilah Pelangi di Setahun Putih Biruku


Kita putar balik kehidupanku ke setahun lalu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu dan yap, kita berhenti di lima tahun yang lalu, 2007. Inilah dimana ketika aku masih kelas 3 SMP. Dan masih bercelana pendek berwarna biru. Dengan setelan tas rapet dipunggung dan saat itu masih musim celana kedodoran.

Baik. Namaku masih sama, belum berubah. Apabila mendadak jadi manula, maka saya ulangi. Namaku adalah Rd. Fadli Aditia Rahman S. Aku adalah siswa SMPN 1 Sumedang kelas 3F. Inilah cerita dimana sebenarnya aku mengalami perasaan cintaku yang pertama kalinya. Basinya yaitu pertama kali mengenal wanita (baca : doyan cewe). Aku masih makhluk setengah jadi saat itu. Wajah bersih, rambut kelimis, berkacamata, pakaian rapi dan masih menjadi atlet (tukang racing sepeda dipagi hari [baca : ngebut kejar tutup gerbang]). Ya, aku masih suka bersepeda saat itu. Naik gunung pun bawa sepeda, karena tak kuat ngayuh sepeda. Tak mengerti? Telen saja.

Saat itu adalah masa penerimaan siswa baru di SMPN 1. Dan aku masih belum seberani hari ini. Aku masih terkenal dengan kode etik ke-cupu-anku. Malah aku lebih senang diam dibanding rame seperti sekarang. Lanjut. Saat itu, seperti biasa, anak-anak kelas siap hunting bocah kelas satu dengan kriteria cantik, bodi asik tanpa operasi plastik, spesifikasi wanita ukuran SMP tentunya. Aku diajak anak-anak sekelas untuk hunting. Awalnya aku geleng kepala. Tapi karena dipaksa, pada akhirnya aku tetap geleng kepala sambil mengikuti mereka. Kita berkeliling ke tiap gugus, satu per satu. Aku tak mengerti mengapa saat itu aku merasa bahwa mencari wanita itu adalah hal yang sangat tidak penting. Namun semua berubah ketika saat itu aku melewati gugus 1E. Saat itu aku melihat satu bocah yang mengalihkan pandanganku. Aku tak mengerti mengapa pandanganku tak lepas darinya. Sampai pada akhirnya aku nyium tembok. Saat itulah, mungkin aku merasakan yang namanya cinta.

Setiap hari aku berusaha datang pagi untuk bisa melihat wajahnya yang bulat. Aku kayuh sepedaku dengan semangat. Maklum, namanya masih SMP, kalau ada hal yang menyenangkan pasti bawaannya selalu semangat. Sampai aku menyadari, aku berangkat sekolah pake sandal capit karena sebelumnya aku disuruh belanja sembako oleh Ibu. Pantas saja ibu memanggilku dari jauh dengan semangat. Ternyata aku lupa sepatuan. Sampai aku kembali lagi ke sekolah, aku bertanya pada Riski, teman sekelasku yang juga anggota osis, notabene sebagai panitia mos.

“Ki, kamu pin-gus 1E bukan?”

“Bukan, Den. Kenapa? Ada kecengan ya?”

“Kecengan apaan?” (maklum, saat itu aku belum mengerti istilah dalam pacaran. Bahkan “jadian” pun aku tak tahu artinya apa. Aku anggap jadian itu sebagai mulai balapan. Miris.)

“Yah, kamu. Kecengan tuh berarti orang yang disukain. Cewe, cewe!”

“Oh. Kayanya bukan. Aku cuma seneng liat salah satu penghuni 1E aja. Cewe, mukanya bulet. Lucu deh. Kalo ga salah ada choco chip nya di idung.”

“Iya itu teh ngeceng namanya!”

“Bukan. Cuma seneng liat aja.” Dengan ke-cupu-an ku aku menjawab mantap tapi tolol.

“Yaudah terserah deh. Kalo mau, ntar aku salamin. Siapa namanya?”

“Ga tau.”

“Monyong..”

Ya. Saat itu aku tidak mengetahui siapa namanya. Bahkan aku yang terkenal culun sejati ini tak pernah mengerti apa arti dari perasaan yang muncul di hati ini. Aku anggap saja itu sebagai penyakit liver.

Aku sering melihatnya di kantin, dan mendadak menghilang setelah mendapatinya datang kearahku. Seperti anak SMP pada umumnya, kalau ada seseorang yang disukai, pasti langsung kabur bak betmen nahan boker. Aku saat itu sedang ngulek sambal di kantin spesialis gorengan disebelah ujung dekat bekas kelas 2A, pinggir kantin hijau. Ya. Dengan bekal sehari Rp. 2000,- aku hanya mampu beli 5 buah gorengan dan satu gelas aqua. Dan itu rutin. Bahkan terkadang aku tak pernah bekal uang. Didikan hemat seperti itu sudah diterapkan sejak aku SD. Makanya sampai sekarangpun, tak ada uang bukanlah satu hal yang sulit jika kita mampu me-manage keadaan. Uang bukanlah puncak kebahagiaan. Puncak kebahagiaan adalah ketika kita bisa menyayangi orang yang kita sayangi, ataupun sebaliknya. Ikhlas, saling mengerti dan memahami satu sama lain, tanpa melihat sisi materi. Materi hanya sumber pertikaian. Kita saling menyayangi, orang tua tidak menyetujui karena istilah “Mau kamu kasih makan anak saya apa? Kerjaan gaji sedikit. Mau ngasih makan cinta? Mikir pake otak, nak!” dan pada akhirnya, lelaki anak orang tak punya tak akan pernah bisa menjadi seorang suami dari calon istri yang menyayanginya dalam konteks anak orang berada karena masalah materi. Ya. Menjadi seorang lelaki adalah hal yang sulit. Karena lelaki harus memikul beban lebih dan terkadang, wanita tak memahami itu. Lanjut. Saat setelah mengulek sambal, aku langsung memandangi gehu panas yang kelihatan lezat dan uras. Niatnya mau ambil gehu dan uras, malah aku ambil langkah seribu. Karena kulihat wanita itu. Ya, kabur adalah ciri khas perasaan terpendam yang keterlaluan tapi menyenangkan.

Aku bingung. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya kurasakan ini. Setiap hari, aku selalu ingin melewati kelas 1E dan mengetahui siapa nama dari wanita itu. Namun aku enggan, takut disangka pedofil berkacamata yang doyan nyulik bocah dengan setelan serba kelimis. Aku pikir perasaan ini mirip sekali dengan perasaan ketika menghadapi rumus fisika pemberian Pak Purnama yang begitu jelimet (baca : emang buta fisika). Lalu kemudian, aku curhat pada Fury tetangga bangku ku.

“Fur! Aku bingung. Aku ini kena perasaan yang ngga enak. Aku selalu mikirin satu cewe anak kelas 1E. Ga tau kenapa. Setiap liat anak itu pasti bawaannya pengen kabur. Ini perasaan apaan sih?”

“Cieeee, Raden ngeceng cewe buat pertama kalinya nih.”

“Bukan ngeceng. Cuma seneng.”

“Ciee... Raden seneng.”

“Iya apalah itu disebutnya. Aku cuma pengen tau, aku tuh kenapa?”

“Kamu jatuh cinta, Den”

“Sbbbbbrrrrrrrruuuuuttttttt......!!!!(Sound effect ketika air yang kuminum nyembur) Hah!? Jatuh cinta? Idih..”

“Kenapa, Den?”

“Engga. Aku ga suka cinta-cintaan.” Dan akupun berubah bad mood sambil meninggalkan Fury yang kebingungan mengapa aku menjadi bad mood.

Ya. Aku tak suka mengalami cinta. Karena satu keadaan, aku menjadi tak suka jatuh cinta. Saat itu saat masih berada pada kelas 2 semester 2, aku pernah memendam perasaan pada satu orang wanita. Dia adalah wanita pertama yang aku sukai, bukan cintai. Aku pendam dan tak pernah kuungkapkan hingga saat ini. Sampai pada akhirnya aku coba untuk mengirim surat untuknya via temanku (aku mulai memegang HP saat kelas 3 semester 2) yang sekolah di Bandung namun sedang berada di Sumedang (saat itu si wanita berdomisili di Bandung) aku bingung mengapa dia diam. Ternyata aku telat menyampaikan perasaan suka ku padanya. Dia meninggal karena kecelakaan. Surat yang kupegangpun kubakar agar tak pernah ada lagi kenangan dimana aku diam-diam menyukainya. Dan saat itulah aku bungkam. Tidak pernah lagi ingin merasakan rasa suka ataupun cinta. Tapi mengapa sekarang seperti ini? Tak ada yang tahu. Mungkin Allah memberikan jawaban melalui waktu yang terus berjalan.

Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Saat itu mata pelajaran penjaskes Pak Enjang. Seperti biasa, pemanasan dengan lari rute spensa. Lapang basket – kantin – mesjid – wc – lapang basket. Nah aku melakukan hal terlarang. Aku potong jalan kearah kelas 1E (jalan terlarang ketika lari). Aku terus memandangi isi kelas tersebut sambil lari dan akhirnya aku push up 5 seri karena ketahuan motong jalan. Saat itu aku terus menjalani hidupku seperti itu. Lari dari kenyataan, coba menghindarinya agar tak kelihatan aku menyukainya, dan pulang kerumah dengan perasaan galau. Aku kayuh sepedaku untuk mencari angin. Aku kayuh mengelilingi kota Sumedang. Dan akupun mengayuh hingga kelelahan. Dia tetap ada dipikiranku.

Nenekku saat itu sedang dirawat di rumah sakit karena penyakitnya. Sehingga pada semester 2 aku sering pulang ke rumah sakit, bukan ke rumah. Hal ini membuatku lupa akan semuanya. Akan perasaanku yang menyukainya, akan perasaanku yang membisu dihatiku. Dan sampai aku merasakan kehilangan seseorang untuk kedua kalinya pun, perasaanku padanya tak pernah terungkap. Hingga Nenek ku tutup usia.

Saat itu aku hanya sekedar menyukainya saja. Aku biarkan perasaan ini. Hingga pada akhirnya aku lupa akan semuanya. Ya... Sampai aku melepas putih biru pun, dan hingga aku mengenakan putih abu pun, aku masih tak mengetahui siapa namanya... Aku anggap saja dia sebagai pelangi pertama yang mewarnai hidupku di dunia putih biruku yang culun.

8 Desember 2011

Rd. Fadli A. R. S

(Ketika semua terkenang di bangunan SMPN 1 Sumedang 3 minggu lalu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar