Sabtu, 03 Desember 2011

OLI BEKAS, PELANGI DAN ROTI PISANG COKLAT


Oli bekas dan pelangi? Ya, ini judul yang agak menyedihkan. Mengapa oli bekas yang hitam legam harus diselaraskan dengan pelangi yang indah? Tetapi lebih baik seperti itu karena bila pelangi dihubungkan dengan comberan, itu artinya akan lebih menyedihkan lagi.

Namaku Rd. Fadli Aditia Rahman Sumawilaga. Nama yang panjang dan sangat tidak cocok untuk Ujian Nasional. Dan itu nama terpanjang di angkatanku. Aku adalah seorang siswa SMA Negeri 1 Sumedang kelas 12 SI 1. Saat itu adalah masa penerimaan siswa baru dan aku bertindak sebagai komisi penegak kedisiplinan. Pada mulanya aku tak mengerti mengapa aku yang berwajah mirip bencong ngamen dan tidak ada seram-seramnya ini malah dijadikan komdis. Pada kenyataannya, bencong ngamen memang menyeramkan. Dan ini adalah awal kisah cintaku yang mirip oli bekas, yang hitam legam, lengket, juga agak tak sedap dipandang, yang tidak sepantasnya dipasangkan dengan pelangi yang indah.

Saat itu, aku adalah komdis paling galak dan jaim diantara semua anggota komdis. Wajar saja, hari pertama penerimaan siswa baru, aku sudah bikin gempar angkatan baru, bahkan semua panitia pun tak menyangka aku segalak itu karena mereka mengenalku sebagai seorang yang, ya, banyak bercanda. Padahal aku hanya membagi porsi dimana aku harus bertindak sewajarnya di forum yang berbeda, baiklah aku memang hobi bercanda dan melihat orang lain tersenyum, tetapi aku akan berubah serius di forum yang menuntutku untuk serius. Bercanda ada waktunya.

Saat itu aku mulai berkeliling melakukan operasi ke tiap-tiap kelas dan sampailah di gugus 10 dimana aku menemukan pelangi di hatiku. Alay, lebay, dan terkesan seperti seorang pujangga yang mati bunuh diri gara-gara karya-karyanya tak laku di pasaran. Tapi ya begitulah yang kurasakan ketika kelima kalinya melihat wajahnya, karena saat pertama kali aku agak kurang suka pada raut wajahnya yang terkesan seperti sedang mencibir dan merendahkan. Sudah bulat mirip bola tenis penyok-penyok, mencibir pula. Makin mirip raket tenis. Wanita ini bernama Dia (yang disamarkan Cuma ini saja, yang lain asli). Aku mendadak menyukai wanita ini (sebenarnya sudah ngebet sejak kelas 3 SMP namun karena saat masih kelas 3 SMP aku termasuk pemuda kelimis berkacamata dengan rambut cap tsunami Aceh [baca : cupu], aku belum seberani sekarang jadi hanya kupendam dengan cara lewat kelasnya ketika lari saat pelajaran penjaskes ke arah kelas 1e kalau tidak salah dan setelah itu push up 5 seri karena ketahuan motong jalan terlarang oleh Pak Epi, guru penjasku di SMP) sampai-sampai aku banyak selidik sana-sini walaupun pada akhirnya aku tak mendapatkan apa-apa sampai akhirnya aku bertemu adik kelasku yaitu Niken, teman sekelas Dia. Seperti ketiban duren runtuh hingga kejang-kejang dengan kepala berdarah, aku merasa senang bukan main karena mendapati Niken yang kukenal sebagai teman pesantrenku dulu itu sekelas dengan Dia. Sedikit demi sedikit aku bertanya padanya.

“Ken, kamu sekelas dengan anak yang namanya Dia?” aku bertanya sambil pasang muka nodong yang kelihatan seperti nahan kentut.

“Iya, A. Emang kenapa? Aa suka ya sama dia?” jawab Niken.

“Ehm, gimana ya... Ah, engga juga. Tapi bisa dibilang iya juga, sih.”

“Adeuuuh.. Baru masuk, udah ada yang keceng-keceng nih. Dia masih punya pacar, A. Namanya Gagah. Temen SMP nya.”

Monyong...

Kali ini aku benar-benar ketiban duren beserta pohon-pohonnya terus dilindes Fuso dan berubah jadi aspal. Aku lemas mendengar pernyataan itu sampai akhirnya aku mundur, karena aku, sekalipun tukang selingkuh (sekarang sudah tobat karena aku mendapati bahwa kita tidak akan pernah bisa mengulang masa lalu untuk memperbaiki keadaan, yang terjadi itu adalah cerminan perbuatan kita dan harus dijadikan pembelajaran di masa mendatang), tak suka mendekati pacar orang lain atau mengganggu hubungan orang lain hingga akhirnya aku tak mengenal dan bahkan lupa siapa itu Dia dan seperti apa wajahnya.

Aku saat itu berkedudukan sebagai Pradana atau ketua pramuka, dan aku mendapati bahwa Dia ternyata menjadi anggota pramuka, setelah acara akbar pramuka SMANSA, yaitu Lomba Lintas Alam usai. Aku bahkan tak pernah mengetahui bahwa aku pernah bercakap-cakap dengan Dia dan mengetahui bahwa itu adalah dirinya karena saat itu aku sangat sibuk dan sampai-sampai aku hanya fokus pada job description pra-hari H karena aku bertindak sebagai penanggung jawab.

Saat itu, malam hari di bulan November tahun 2009, aku masih suka keluyuran di malam hari apabila kurang kerjaan. Cari angin dan jalan-jalan sekitaran alun-alun, tidak seperti ABG kebanyakan yang keluyuran, kebut-kebutan, dan akhirnya nangis masuk rumah sakit gara-gara nabrakin motor hasil ngredit ortunya ke angkot. Aku pergi ke warnet hanya untuk buka Facebook, bikin tautan di blog dan download lagu (saat itu client disebelahku lagi nonton bokep). Aku hanya liat-liat profil orang dan cari kegiatan. Dan PLING! Jendela chatting terbuka dengan nama pengirim Dia Khoerunnisa. Pertama kali aku tidak mengenali siapa wanita ini. Aku hanya berpikiran mungkin dia hanya ABG labil yang lagi hobi melebay dengan tipe tulisan seperti anak yang tak pernah lulus sekolah dan hobi hambur aksara seperti :

“MeeEEuuUuUDddDDhH MalLLllLLEmmMMZzz kkKUuuKkkhAA !?”

Artinya simpel yaitu :

“Met malem kaka!”

Dalam ilmu sastra, hal ini bisa menghemat 36 karakter dan 23 huruf kapital.

Ternyata Dia berbeda. Dia menulis layaknya orang normal yang tak kena stroke. Dia menulis dengan rapi dan sopan. Juga mudah dimengerti. Sampai pada akhirnya aku meminta nomor hp nya yang memang aku butuhkan untuk contact person di ambalan pramuka. Pada akhirnya aku malah sering sms-an dengannya dan mulai mengetahui bahwa aku pernah menyukainya. Namun aku ragu, apakah dia masih bersama kekasihnya, atau sudah putus. Yah, ternyata memang sudah putus dan aku pun sudah putus dengan kekasih lama ku.

Saat itu sore hari di bulan Desember 2009, aku pergi main DDR bersama sahabat gila ku, Otis. Nama aslinya sih Muhammad Harits Novliyan, tetapi karena kelakuannya kurang bisa disebut sebagai kelakuan orang normal pada umumnya, maka dia dipanggil Otis (asal kata autis) oleh teman-teman sekelasnya. Kami berdua merupakan PSK pada hari itu, yaitu Pemuda Susah Keuangan. Duduk di food court Griya Plaza Sumedang (disingkat GPS) hanya untuk, cari mukjizat dengan ketentuan ada teman lewat lagi banyak duit lalu tiba-tiba bilang,

”Oy makan yuk! Tenang aku yang nraktir.”

Memang terkesan orthodox, dan agak tolol. Tapi mukjizat itu ada, lho. Saat itu kebetulan Yuni, mantan pacarku yang sebetulnya adalah bibi ku dari ayah (aku mengetahui ketika dia berkata bahwa yang aku panggil kakek, ternyata dia panggil uwa/paman), sedang kurang kerjaan dan pergi ke GPS dan akhirnya mendapati kami sedang mengais rejeki. Yuni termasuk anak yang memiliki pendapatan Rp. 1,5jt per bulan. Maklum orang tuanya bekerja sebagai kontraktor di Irian Jaya. Namun Yuni sangat lah sederhana. Tidak seperti anak orang kaya kebanyakan yang berpakaian mahal, dan pegang handphone mahal dan hobi buang-buang duit orang tua, dia modis namun sederhana. Dia kebetulan sedang gajian dan kami, yang bermuka layaknya orang tak makan nasi dari SD, akhirnya ditraktir makan. Kami kebingungan karena malu, namun Yuni memaksa dan apa mau dikata, kami terima saja rejeki ini dan kami memilih tutug oncom dan ayam bakar. Saat itulah aku menembak Dia melalui sms dan sampai akhirnya aku meyakinkannya secara langsung. Dan aku diterima. Namun sayang. Belum memasuki usia 1 bulan, hubunganku dengannya rusak karena Dian, mantan pacarku menyatakan bahwa aku masihlah pacarnya padahal tidak. Aku hanya kebetulan sedang curhat dengan nya didepan kelasku hanya sebagai mantan pacar dan Dia mendapatiku berdua dengan Dian sampai dia akhirnya sms Dian. Namun sayang, Dia terburu amarah dan kecewa sehingga aku yakinkan pun, semuanya sudah berakhir. Pada akhirnya aku kembali pada Dian sebagai pelampiasan. Aku tak sepenuh hati menjalaninya karena aku sudah muak dengan kelakuannya yang memperlakukanku seenaknya sebagai robot yang bisa diatur dan harus melulu mengerti dan menuruti dirinya. Pada akhirnya akupun kembali putus dari Dian. Aku pun mulai menjalani kehidupanku sendiri tanpa rasa sayang dan cinta pada orang lain. Sampai pada akhirnya, aku kembali berhubungan dengan orang yang sangat kusayangi, Dia.

Saat itu aku tak tahu kenapa, aku begitu senang pada hari itu. Selain karena pada test drama mata pelajaran bahasa Jepang aku dinobatkan sebagai pemain terbaik, akupun mendapat nilai ulangan bahasa Inggris yang Excellent juga karena melihat kepengurusan Dewan Ambalan baru yang begitu antusias. Aku sangat menyukai hari itu, tepatnya tanggal 12 Februari 2010. Tak tahu mengapa, akhirnya aku memutuskan menembak ulang Dia. Aku sms setelah shalat maghrib dan dijawab 1,5 jam kemudian. Dengan berdasar pada semangat juang 45, ketabahan hati Jendral Soedirman, asas praduga tidak bersalah, soal-soal test TOEFL, eliminasi, substitusi, komplikasi, halusinasi dan hukum phytaghoras, aku tembak dia. Dan diterima!!! Aku langsung loncat-loncat tak tahu arah, dan sampai akhirnya aku sadar, sarungku melorot dan aku mendapati bahwa aku loncat-loncat tanpa sarung, juga tanpa kolor. Si “Udin” pun kedinginan. Aku kembali berhubungan dengannya. Banyak sekali kenangan yang terukir dari serpihan-serpihan kecil sehingga semuanya terkumpul menjadi sebuah kaca utuh. Dari mulai ALGA SMPN 1 Sumedang, ngaliwet, Trip to Tangkuban Parahu, MPK, dan lain sebagainya aku tak bisa ungkapkan karena terlalu banyak kenangan bersamanya. Dan akhirnya aku sadar, aku tak bisa kehilangan Dia. Sejak bersama Dia, hobiku selingkuh-jika-sudah-bosan hilang karena aku begitu mencintai dan menyayangi Dia. Semuanya berjalan begitu indah sampai saat itu terjadi.

Tepatnya bulan Januari tahun 2011, aku mulai merasakan kejanggalan dihatiku. Aku merasa kehilangan kasih sayang Dia. Aku tak mengerti mengapa terjadi seperti itu dan tak ada alasan aku kehilangan cinta Dia. Aku mulai sadar ketika mendengar ucapan Ayah bersama Mbak ku. Menurutnya hubungan jarak jauh itu sulit karena kita hanya sekedar mengetahui keadaan orang yang kita kasihi terbatas hanya melalui dunia maya, SMS, telepon, atau sekedar chatting. Kita jarang atau mungkin tidak mengetahui seperti apa wajahnya ketika tersenyum, ketika tertawa, ketika bahagia, ketika marah dan ataupun ketika bersedih. Bisa saja ketika di sms lawan bicara kita itu marah, tetapi kita tidak mengetahui apakah dia benar-benar marah. Bisa saja di sms dia marah namun pada kenyataannya dia mengetik sambil loncat-loncat atau goyang-gayung tanpa perasaan marah sama sekali atau dia bilang sedang bahagia padahal dia baru saja menghabiskan satu truk tissue karena menangis. Sulit untuk mengetahui wajah kekasih yang sangat kita sayangi. Aku sadar mungkin karena itu aku merasa kehilangan Dia. Wajar saja. Tahun sebelumnya aku masih sangat sering bertemu Dia, memandanginya melalui kaca jendela kelas yang besebrangan dengan kelasnya, memandanginya melalui kaca spion motor ketika mengantarnya pulang, bersamanya ketika ada acara “ririweuhan” (menggila), dan lainnya. Namun kali ini aku memiliki kesibukan dan mulai banyak berada di Bandung untuk kuliah juga bekerja. Aku sadari hal ini, dan akupun yang menguping perbincangan Ayah dan Mba tanpa sadar air mata sudah membanjiri pipiku. Laki-laki sepertiku menangis? Ya. Karena siapapun baik itu laki-laki maupun perempuan akan menangis ketika hatinya tergores.

Aku mulai kalap. Aku menduakan Dia. Kembali aku melakukan kebiasaan buruk ku itu. Aku mendua dengan dalih mencari Dia yang lain dan menjadikan wanita yang aku duakan itu sebagai Dia dengan membuanya seolah-olah bersikap seperti Dia. Namun sulit. Karena yang sebenarnya kucintai hanyalah Dia, bukan orang lain karena Dia sudah melekat di hatiku. Namun lagi, hubunganku kandas di umur satu tahun hubunganku, 12 Februari 2011. Dan aku masuk IGD pada hari itu, bukan karena hubunganku yang rusak tetapi karena pernafasanku terganggu sebelum aku pulang ke Sumedang hingga akhirnya aku tak sadarkan diri. Namun semuanya menghubungkan bahwa aku masuk IGD karena diputuskan dan menjadikannya sebagai sebuah lelucon. Aku hanya mengiyakan saja, padahal mereka tidak mengetahui bagaimana rasanya tak bisa bernafas, dada ini seperti ditindih oleh truk bermuatan 3000 ton, sangat berat dan bahkan hampir tak bisa berkata-kata. Mungkin apabila tak ada sahabat-sahabatku yang menginap dirumah karena keluargaku sedang diluar kota semuanya, aku tak akan pernah bisa menulis yang aku tulis sekarang.

Aku hanya bisa melamun. Dia berkata padaku sehari sebelum 1st anniversary.

“Besok anter De ke rumah temen ya. Terus udah itu kita makan bareng ya.”

Terdengar sangat menyenangkan. Tetapi sampai saat ini, kata-kata tersebut hanyalah menjadi impian belaka dan selalu menjadi impianku karena aku tak pernah mengalaminya sama sekali.

Hubunganku dengan Dia berangsur memburuk. Aku sering recok dengannya. Sampai-sampai Dia menjadi sangat cuek dan persuasif. Aku sering menghubunginya namun dia jarang bahkan tak pernah menjawab sedikitpun. Aku tahu ini karena diriku juga penyebabnya. Semua terasa begitu menyakitkan. Dia saat ini seperti menjadi orang lain yang bahkan tak pernah kukenal. Bahkan Miftah, salah seorang sahabatku, sampai enggan melihat sikapnya padaku.

“Dux (maklum panggilanku Wadux), kamu apaan sih masih ngejar-ngejar si Dia? Udah jelas dia ga ada respon sedikitpun.” Miftah yang berkata seperti itu.

“Ya abis gimana, Mi. Aku ga bisa kehilangan dia. Karena aku udah cuma percaya sama Dia dan aku udah nyaman banget sama Dia.”

“Okelah kalo gitu alesannya. Tapi apa kamu juga punya otak? Sekarang kamu mikirin terus si Dia, tapi apa saat ini dia juga mikirin kamu? Belum tentu bahkan mungkin ga pernah sama sekali! Garis bawahi itu. GA PERNAH!!!”

“Ya jangan yang ga pernahnya atuh, Mi. Mending belum tentu aja. Aku sekarang ga peduli, mau dia cuek atau apalah. Aku tetep sayang sama dia dan itu tekad aku sampe akhir.”

“Susah sih kalo cowo udah nemu satu titik kaya kamu. Sakit hati juga ga peduli. Ya udah lah yang penting kamu juga jangan keterlaluan. Dia mungkin masih naruh harapan sama kamu tapi kamu juga harus berubah. Buktiin sama dia kalo kamu ga seperti yang orang liat. Percaya lah, kamu pasti bisa dan aku tau kamu udah ga bisa selingkuh lagi.”

“Makasih, Mi”

“Yang penting sekarang mah kamu, jangan banyak pikiran.”

Datanglah Ketut, pria Bali asli Kupang yang juga sahabatku.

“Nah lagi pada maenin leppi. Jadi ga nih ngopiin b$%!pnya? Tsubasa Amami DVD Rip loh. Maennya cihuy. Aku mau hapus nih. Mau tobat.”

Anti-klimaks.

Curhatanku sama sekali tak ada hubungannya dengan b%$?p. Walaupun pada akhirnya kita menjawab “Mana flash disknya? Ada yang lain nggak?”

Sampai saat ini, hubunganku dengan Dia berangsur membaik. Ketika hari ulang tahunku, Dia meluangkan waktunya untukku, untuk kita berdua. Namun ya, kembali lagi Dia cuek seperti biasanya.

“Mungkin karena kita belum lagi menemukan satu titik temu. Tiap Aa yang baik, De yang ngejauh. Atau Aa yang diem, De deket. Kadang kita sama-sama jauhan. Tapi ga pernah sama-sama deket.”

Itu ujar Dia di waktu dimana aku masih berhubungan secara normal dan tak seperti sekarang yang tiada kepedulian. Entah tidak ada atau mungkin hanya perasaanku saja. Ya sekarang sih aku jalani saja karena toh benar apa yang dia ucapkan. Makanya sekarang aku lempeng mau Dia cuek atau apapun terserah dia. Aku biarkan dia bersama dunianya saja. Apabila jodoh, nanti pasti ada waktunya kita dipertemukan lagi.

Aku seperti oli bekas yang hitam legam dan tak senyawa dengan yang lain sedangkan Dia seperti pelangi yang mewarnai hidupku yang legam. Rasanya memang tak pantas oli bersebelahan dengan pelangi. Tapi siapa tahu dari oli bekas bisa berubah menjadi hujan yang berpelangi.

“Dux. Gimana sama Dia?” ujar Miftah.

“Alhamdulillah lancar-lancar aja. Ga recok lagi ko.”

“Oh gitu. Bagus deh soalnya aku udah punya pacar.”

“Monyet...”

Aku tertawa. Padahal dalam hati aku hanya bisa berkata bahwa sebetulnya hubunganku dengan Dia makin buruk karena mungkin, Dia kali ini sudah mulai membenciku mengingat, sudah tak ada lagi kepercayaan keluarganya terhadapku yang sudah menganggap aku adalah anak tak tahu diri yang sudah membuat anggota keluarganya tersakiti. Tak pernah ada maksudku untuk membuatnya menangis. Aku hanya ingin Dia mengerti bahwa aku ingin diperlakukan seperti teman-teman sekelasnya yang setiap hari bertemu. Aku hanya ingin diperlakukan setara dengan mereka sekalipun hanya satu minggu sekali atau dua minggu sekali. Itu saja. Namun aku terngiang. Dia berkata bahwa tunggulah sampai aku tidak pernah tahu Dia akan menjawab apa setelah kutembak lagi. Padahal pada kenyataannya sampai hari ini pun aku tak tahu Dia akan menjawab apa karena sampai hari inipun, Dia telah memutus silaturahmi denganku. Seolah aku telah lenyap dalam ingatannya atau bahkan mungkin lenyap dimutilasi Ryan Jombang sambil goyang-Gayus.

Sampai hari inipun aku dan Dia seolah seperti tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Aku tahu, Dia pasti sibuk dengan dunianya juga aku tahu dia sedang sibuk-sibuknya persiapan menuju Ujian Nasional. Aku pun sibuk dengan kuliahku juga pekerjaanku sebagai Guru honorer bimbel juga sound engineer. Kita kali ini bisa disebut menjalani hidup masing-masing. Aku mungkin hampa, Dia belum tentu. Sms-ku sudah tak dipedulikannya, BBM pun tak pernah ada balasan. Apalagi di jejaring sosial, kita seolah sebagai orang lain beda spesies. Aku Pithecantrophus Mojokertensis dan Dia sebagai Homo Sapiens. Dua-duanya sama-sama goyang-gayung sambil salto. Aku hanya bisa berpikiran positif padanya dan hanya tetap bisa mendoakan Dia beserta keluarganya selalu dalam lindungan Allah SWT.

Aku sampai saat ini menunggu. Ya. Menunggu itu adalah hal yang sangat membosankan dan menunggu itu terasa hambar. Aku tak mengerti. Sampai subuh inipun, aku menulis entri baru dalam bentuk cerpen yang panjang inipun, aku merasa datar. Tak bisa merasakan rasa sakit hati, bahkan enaknya ditraktir. Dan roti isi pisang coklat yang kubeli di Bandung tadi malam pun terasa begitu hambar. Bahkan sampai tulisanku rampung dan rotinya habispun, aku masih belum bisa merasakan "a bitter-sweet of choco banana bread" ini. Ya. Hambar dan hampa...

-Rd. Fadli Aditia R. S.-

-04-12-2011-

1 komentar: